Senin, 13 Desember 2010

Renungan Seperempat Abad

Seorang sahabat pernah berkata kepadaku "kesalahan adalah fase pembelajaran, asalkan kita tidak mengulangi kesalahan yang sama".


Mungkin buat orang yang berusia diatasku mereka akan berkata "enak ya masih muda". Tapi aq pun bertanya pada diriku"apa iya aq masih muda?".

Beberapa hari lagi usiaku genap 25 tahun. Tidak bisa dibilang tua tidak bisa juga dibilang masi belia. Umumnya gadis seusiaku sudah lulus kuliah dan memiliki pekerjaan yang tetap atau minimal punya seorang pacar yang telah siap menikahinya.

Yah, disinilah aku berada, punya pekerjaan meski tidak tetap, sudah punya tujuan hidup yang pasti, dan memiliki cara sendiri dalam menikmati hidup. Hanya satu yang belum aq miliki, seorang calon suami.


Dulu sebelum aq wisuda dimasa2 krisis dalam proses pengerjaan skripsi, aq memiliki seorang pacar. Pada saat itu aq merasa belum ingin berpikir serius mengenai pernikahan. Dia benar2 serius ingin menikahiku. Tapi hubungan itu tidak berjalan lancar, karena beberapa perbedaan prinsip yang tidak bisa disatukan. Aq memilih putus.

Dalam menjalani hubungan itu aq merasa seperti dalam lingkaran setan yang tidak putus2nya. Berbuat salah meminta maaf lalu mengulanginya kembali, terus begitu hingga aq bosan berada dalam posisi yang terus menerus menerima dan memaafkan. Aq berpikir apa ini yang akan aq lalui seumur hidupku jika kuputuskan menikah dengannya.


Hal pertama yang kulakukan setelah putus dengannya adalah berjalan2 keliling kompleks perumahan dan menghirup dinginnya udara sore hari kota yogya dihari itu. Angin bertiup lembut seolah ikut merayakan hari kebebasanku. Malam hari pun aq bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada gangguan (karena biasanya dia selalu menelpon dimalam hari).


Beberapa hari kemudian aq berkunjung kesolo kota dimana aq pada saat itu sedang melanjutkan studiku. Hang outdengan beberapa temen dan tertawa melepas smua beban yang ada.


Hampir 2 tahun sejak peristiwa itu berlalu. Saat ini yang ada padaku adalah kesadaran dan perasaan bersyukur,ternyata kebebasan itu mahal harganya.

Mungkin hingga saat ini banyak temanku yang berpikir dan bertanya2 hal apa yang membuatku masi nyaman dengan kesendirian ini. Apakah karena aq trauma dengan kejadian masa lalu?


Jawabannya jelas tidak. Saat ini aq masi menikmati kebebasanku dan mendidik diriku menjadi seorang wanita yang paham akan peranannya secara benar. Pernah memiliki hubungan dekat dengan laki2 posesif membuatku sadar bahwa pernikahan bukan hanya pesta menjadi ratu semalam.

Bagi wanita pernikahan merupakan perubahan 180 derajat dalam hidupnya. Dalam satu waktu seorang wanita single akan berubah status dan tanggung jawab menjadi seorang istri yang menjaga dan merawat suami serta seorang ibu yang melahirkan dan mendidik anak2nya.

Untuk melakukan kedua peranan itu, seorang wanita harus mengorbankan kehidupannya sebagai seorang wanita single dengan cita2 dan keinginannya sebagai individu yang eksis dalam dunia kerja misalnya, lalu mengubah cita2 itu menjadi cita2 keluarga. Demikian juga halnya dengan waktu untuk dirinya sendiri (melakukan hobi, perawatan diri, atau sekedar jalan2 sendiri dikala suntuk). smua hal itu merupakan kemewahan yang sulit didapatlan bagi wanita yang mengurus masalah dalam rumah tangganya seorang diri.


Menjadi seorang istri dan ibu adalah karier seumur hidup yang akan dilakukan seorang wanita dengan penuh cinta dan keihklasan. Tidak bisa dilakukan dengan setengah2 karena memerlukan totalitas.


Oleh karena itu sebagai seorang wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi istri dan ibu yang benar, aq pun menginginkan seorang lelaki yang paham akan peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah dalam sebuah keluarga.

Sehingga suatu saat nanti jika ada yang datang dan bertanya padaku "apakah ada perbedaan antara kehidupan sesudah dan sebelum menikah?". maka dengan yakin aq akan menjawab "aq bahagia dalam menjalani prose keduanya karena hal itu adalah ujian dalam hidup untuk meningkatkan iman dan mematangkan pola pikirku sebagai seorang insan"

Tidak ada komentar: