Rabu, 28 Januari 2009

Impian


Setelah membaca blog seorang teman jadi pengen ngebahas soal impian . Dalam hidup baru sudah aku jalani selama 23 tahun ini, impian terbesarku baru saja terlintas dipikiran ini ketika aku mengenal dia. Entahlah, apa ini obsesi atau kah impian yang sesungguhnya.
Ketika itu aku masih berumur 19 tahun. Tapi rasanya apa yang aku impikan terlalu dewasa untuk umur yang masih begitu muda. Saat itu aku sedang menempuh akhir pendidikan D3ku. Aku mengenalnya secara pribadi, dia mengajarkan aku banyak hal. Dia yang mengenalkankan aku pada apa yang dinamakan bahagia ketika kamu merasakan dibutuhkan.
Mungkin itulah awal dari impianku ini. Sampai saat ini aku masih belum menemukan impian lain yang lebih besar dari keinginanku untuk "memiliki keluarga dan sebuah kafe mungil dengan aku sebagai manajernya".
Mungkin kedengarannya lucu, tapi saat ini dan entah sampai kapan itu adalah impian terbesarku.
Anehnya aku tidak pernah membayangkan dikota, provinsi atau negara manakah aku akan mewujudkan impian itu.
Hal itu bisa terjadi dimana saja. Bisa saja dikota domisili keluargaku Palangka Raya, atau kota yang saat ini aku tempati Yogyakarta, dinegara lain seperti Inggris atau Jepang misalnya, bahkan bisa jadi Jakarta, kota yang mungkin jadi pilihan terakhirku untuk bermukim.
Pada awalnya ini adalah impian yang ingin aku jalani dengan "dia", lelaki yang sampai saat ini masih saja tak bergeming dan merajai hatiku. Apa mungkin aku masih harus menunggunya hingga aku dan dia sama2 berumur 27 tahun? Dimana dia akan memilih siapa pun wanita yang bisa memegang hatinya. Lalu bagaimana aku bisa melewati tahun2 setelah itu jika ternyata aku bukan pilihan hatinya?
Hah.... kok jadi gini ujung2nya. Kelihatannya aku mulai menyusun skenario hidupku.
Ehm... aku pikir jadi sutradara itu enak, ternyata jadi sutradara sekaligus talent dalam film independent tentang hidup yang akan kita jalani itu pusing juga ya! Mau ga mau harus memilih dan setiap pilihan ga pernah bisa diduga, hidup kita akan berakhir seperti apa.
Padahal kata seorang sahabat, aku adalah orang yang sangat menghargai diriku dan bisa menentukan siapa yang pantas atau tidak untuk berada dalam lingkaran hidupku.
Mungkin untuk masalah teman dan persahabatan "feeling"ku tajam dan sudah terasah. Tapi kenapa ketika berhadapan dengan perasaan cinta aku tidak bisa merasakan pilihan apa yang harus aku ambil?
Hati dan logika ku tidak kompak lagi. Mereka punya kubu masing2, hati ingin aku menunggu karena ia tak bisa berpindah dengan mudah. Tapi logika ingin aku meninggalkan kenangan indah itu dan mencari orang yang lebih baik darinya demi kebahagiaanku dan orang2 skelilingku.
Padahal justru saat2 seperti ini aku butuh "feeling" itu, tapi dimana dia menghilang seakan2 tak pernah datang.
Aargggghhh... ternyata impian terbesarku masih kabur.
Sosok pendamping itu masih belum jelas, walau hatiku sudah memilih kandidatnya.
Tapi takdir bukan manusia yang menentukan melainkan Sang Pencipta Semesta yang Esa.
Aku hanya bisa menjalani prosesnya tapi tidak menentukan akhirnya.

Minggu, 11 Januari 2009

Sepi

SEPI
Sepi...
Apa kata itu begitu menakutkan?
Setiap orang kebingungan mencari teman ketika sepi itu datang dan merajai

Sepi...
Kenapa baru sekarang sakitmya begitu terasa sampai-sampai nafasku seakan terhenti
Jantungku berdatak tapi tanpa arti

Sepi...
Jiwa memberontak seakan ingin lepas dari ragaku
Mencari-cari belahannya yang telah diciptakan entah setelah atau sebelum keberadaannya dibumi.

Sepi...
Dalam hingar bingar bunyi terompet dan meriahnya kembang api
Mengapa makna kata itu yang terasa menyayat hati

Sepi...
Apakah selama ini hatiku mati?
Apa bedanya sendiri, berdua atau berlima sekalipun?
Toh, ujungnya aku akan sendiri lagi merajut waktu hingga saat itu menjemput lagi.

Sepi...
Aku sakit saat tidak ada lagi mereka yang datang dan bercerita tentang hidup dan deritanya.
Aku sakit saat diri kembali sendiri dalam sepi dan detik demi detik masih berputar dalam keheningan.